BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan
salah satu indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. AKI
menggambarkan jumlah wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait
dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau
kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari
setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 100.000 kelahiran
hidup. AKI juga dapat digunakan dalam pemantauan kematian terkait dengan kehamilan
dan persalinan. Indikator ini dipengaruhi status kesehatan secara umum,
pendidikan dan pelayanan selama kehamilan dan melahirkan. Sensitifitas AKI
terhadap perbaikan pelayanan kesehatan menjadikannya indikator keberhasilan
pembangunan sektor kesehatan. AKI mengacu pada jumlah kematian ibu yang terkait
dengan masa kehamilan, persalinan, dan nifas (Depkes RI, 2010, http://www.depkes.go.id).
Sampai saat ini penurunan angka
kematian ibu per 100 ribu kelahiran bayi hidup masih terlalu lamban untuk
mencapai target Tujuan Pembangunan Millenium
Development Goals (MDGs) dalam rangka mengurangi tiga per empat jumlah
perempuan yang meninggal selama hamil dan melahirkan pada 2015, demikian
pernyataan resmi World Health
Organitation (WHO). Dalam pernyataan resmi WHO dijelaskan, untuk mencapai
target MDGs penurunan angka kematian ibu antara 1990 dan 2015 seharusnya 5,5
persen per tahun. Namun data WHO, UNICEF, UNFPA dan Bank Dunia menunjukkan angka
kematian ibu hingga saat ini masih kurang dari satu persen per tahun. Pada
2005, sebanyak 536.000 perempuan meninggal dunia akibat masalah persalinan,
lebih rendah dari jumlah kematian ibu tahun 1990 yang sebanyak 576.000. Menurut data WHO, sebanyak 99 persen kematian
ibu akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negara-negara
berkembang. Rasio kematian ibu di negara-negara berkembang merupakan yang
tertinggi dengan 450 kematian ibu per 100 ribu kelahiran bayi hidup jika
dibandingkan dengan rasio kematian ibu di sembilan negara maju dan 51 negara
persemakmura (Bambang, 2010, http://www.antaranews.com).
Berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia Tahun 2007 menyebutkan bahwa angka kematian ibu di
Indonesia untuk periode 5 tahun sebelum survei (2003-2007) sebesar 228 per
100.000 kelahiran hidup. Angka ini lebih rendah dibandingkan AKI hasil SDKI
tahun 2002-2003 yang mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup. Hal tersebut
menunjukkan adanya kecenderungan penurunan AKI sejak tahun 1994 sampai dengan
tahun 2007, sebagaimana dapat dilihat pada grafik berikut:
Gambar I.1. Angka
Kematian Ibu (Per 100.000 kelahiran hidup)
di Indonesia Tahun 1994-2007

Sumber:
Badan Pusat Statistik, 2008
Sementara
di propinsi Sulawesi Selatan, menurut Wakil Gubernur Agus Arifin Nu’mang,
program kesehatan gratis yang dilaksanakan sejak 4 tahun terakhir mampu menekan
jumlah kematian ibu dan bayi. Data BPS Sulsel menyebutkan, angka kematian ibu
hanya 76 per 1000 kelahiran. Sedangkan kematian bayi hanya 5 per 1000
kelahiran. Pencapaian tersebut diakui lebih baik dari target MDGs yakni 102 per
1000 kelahiran hingga tahun 2015 (www.makassar.radiosmartfm.com)
Direktur
Bina Kesehatan Ibu Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Kementerian
Kesehatan Indonesia, Sri Hermiyanti mengatakan penyebab langsung kematian ibu
terkait kehamilan dan persalinan terutama adalah perdarahan (28%). Sebab lain,
yaitu eklamsi (24%), infeksi (11%), partus lama (5%), dan abortus (5%). Adapun penyebab perdarahan pascapersalinan,
antara lain, karena gangguan pada rahim, pelepasan plasenta, robekan jalan
lahir, dan gangguan faktor pembekuan darah. Risiko akan meningkat, antara lain,
pada ibu hamil yang menderita anemia dan rahim teregang terlalu besar karena
bayi besar (Ine, 2010, http://kesehatan.kompas.com). Hal serupa juga
diungkapkan oleh Mochtar (1998) bahwa salah satu penyebab terjadinya perdarahan
postpartum adalah laserasi jalan lahir yaitu mencapai 4%-5% pada setiap
kejadian perdarahan postpartum.
Ruptur
perineum atau robekan jalan lahir merupakan masalah yang sering terjadi pada
hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga terjadi pada persalinan
berikutnya. Hasil prasurvey yang dilakukan di Puskesmas Lauwa pada bulan Januari
2012 menunjukkan bahwa dari 14 persalinan 9 (64,29%) di antaranya mengalami
rupture perineum dan 5 (35,71%) tidak mengalami rupture perineum. Selain itu,
terlihat adanya kecenderungan ruptur perineum terjadi pada ibu primipara. Hal
tersebut menunjukkan adanya kesamaan antara teori-teori yang menyatakan bahwa
terjadinya ruptur perineum berkaitan dengan persalinan pertama dan berat bayi
yang dilahirkan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang hubungan antara paritas dan berat badan lahir bayi dengan kejadian
rupture perineum pada persalinan normal.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka rumusan masalah penelitian yaitu adakah hubungan antara paritas dan berat
badan lahir bayi dengan kejadian rupture perineum pada persalinan normal di Puskesmas
Lauwa tahun 2012?
C. Tujuan
Penelitian
1. Tujuan
Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan antara paritas dan berat badan lahir bayi dengan
kejadian rupture perineum pada persalinan normal di Puskesmas Lauwa tahun 2012.
2. Tujuan
Khusus
a.
Untuk mengetahui distribusi frekuensi ibu yang bersalin dengan
rupture perineum dan tanpa rupture perineum di Puskesmas Lauwa tahun 2012.
b.
Untuk mengetahui distribusi frekuensi paritas ibu
bersalin yang mengalami rupture perineum dan tidak mengalami rupture perineum di Puskesmas Lauwa tahun 2012.
c. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi berat bayi yang dilahirkan ibu yang mengalami
rupture perineum dan tidak mengalami rupture perineum di Puskesmas Lauwa tahun
2012.
d. Untuk mengetahui hubungan antara
paritas dengan kejadian rupture perineum pada persalinan normal di Puskesmas Lauwa tahun 2012.
e. Untuk mengetahui hubungan antara berat
badan lahir bayi dengan kejadian rupture perineum pada persalinan normal di
Puskesmas Lauwa tahun 2012.
D. Manfaat
Penelitian
1. Bagi
Ibu
Untuk menambah pengetahuan ibu tentang
rupture perineum sehingga jika terjadi rupture perineum akan berupaya selalu
menjaga kebersihan di daerah luka agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan
kesehatan.
2. Bagi
Peneliti
Dapat menambah ilmu pengetahuan dan
wawasan penulis tentang rupture perineum.
3. Bagi
Instansi pendidikan
Dapat menjadi bahan dasar/masukan bagi
Instansi terkait khususnya tentang hubungan antara paritas dan berat badan
lahir bayi dengan kejadian rupture perineum pada persalinan normal di Puskesmas
Lauwa tahun 2012.
4. Penelitian
Lain
Hasil
penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dalam mengembangkan penelitian
yang lebih lanjut.
E. Ruang
Lingkup
1. Jenis : Analitik
2.
Objek : Hubungan paritas dan berat badan lahir bayi dengan kejadian rupture
perineum pada persalinan normal
3.
Subjek : Ibu bersalin.
4.
Tempat
penelitian : Puskesmas Lauwa
5.
Waktu
penelitian : November sampai dengan Desember 2012
6.
Alasan penelitian : Penyebab langsung kematian ibu terkait
kehamilan dan persalinan terutama adalah perdarahan. Sedangkan penyebab
perdarahan pascapersalinan, antara lain, karena gangguan pada rahim, pelepasan
plasenta, robekan jalan lahir, dan gangguan faktor pembekuan darah. Risiko akan
meningkat, antara lain, pada ibu hamil yang menderita anemia dan rahim teregang
terlalu besar karena bayi besar. Hasil prasurvey yang dilakukan di Puskesmas
Lauwa bulan Januari 2012 menunjukkan bahwa dari 14 persalinan 9 (64,29%) di
antaranya mengalami rupture perineum dan 5 (35,71%) tidak mengalami rupture
perineum. Selain itu, terlihat adanya kecenderungan ruptur perineum terjadi
pada ibu primipara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Persalinan
Normal dan Ruptur Perineum
1. Persalinan
Normal
a. Pengertian
Persalinan
Persalinan adalah di mana bayi, placenta dan selaput
ketuban keluar dari rahim ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya
terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37-42 minggu) tanpa disertai
adanya penyulit. Sedangkan persalinan normal adalah serangkaian kejadian yang
berakhir dengan pengeluaran bayi yang cukup bulan, disusul dengan pengeluaran placenta
dan selaput janin dari tubuh bayi (Ikatan Bidan Indonesia, 2004).
Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran
janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan
dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa
komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Saifuddin, dkk, 2006: 100).
Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis
yang normal dalam kehidupan. Beberapa istilah yang berkaitan dengan persalinan
adalah sebagai berikut:
1)
Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks,
dan janin turun ke jalan lahir.
2)
Kelahiran adalah proses dimana janin dan ketuban di
dorong keluar melalui jalan lahir. Dengan demikian persalinan adalah rangkaian
peristiwa mulai dari kenceng-kenceng teratur sampai dikeluarkannya produk
konsepsi (janin, plasenta, ketuban dan cairan ketuban) dari uterus ke dunia
luar melalui jalan lahir atau melalui jalan lain dengan bantuan atau dengan
kekuatan sendiri.
3)
Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran
yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan
presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam waktu 18-24 jam, tanpa
komplikasi baik pada ibu maupun pada janin. (Sumarah, dkk, 2009:2).
b. Jenis
Persalinan
Ada beberapa istilah pada masalah partus, yaitu:
1)
Menurut cara persalinan:
a)
Partus biasa (normal), disebut juga partus spontan,
adalah proses lahirnya bayi pada LBK dengan tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan
alat-alat serta tidak melukai ibu danbayi yang umumnya berlangsung kurang dari
24 jam.
b)
Partus luas biasa (abnormal) adalah persalinan pervaginam
dengan bantuan alat-alat atau melalui dinding perut dengan operasi caesarea.
2)
Menurut tua (umur) kehamilan:
a) Abortus
(keguguran) adalah terhentinya kehamilan sebelum janin dapat hidup (viable) –
berat janin di bawah 1000 g – tua kehamilan di bawah 28 minggu.
b) Partus
prematurus adalah persalinan dari hasil konsepsi pada kehamilan 28-36 minggu,
janin dapat hidup tetapi prematur, berat janin antara 1.000-2.500 g.
c) Partus
maturus atau a term (cukup bulan) adalah partus pada kehamilan 37-40 minggu,
janin matur, berat badan di atas 2.500 g.
d) Partus
postmaturus (serotinus) adalah persalinan yang terjadi 2 minggu atau lebih dari
waktu partus yang ditaksir, janin disebut post matur.
e) Partus
presipatatus adalah partus yang berlangsung cepat, mungkin di kamar mandi, di
atas beca dan sebagainya.
f) Partus
percobaan adalah suatu penilaian kemajuan persalinan untuk memperoleh bukti
tentang ada atau tidaknya disproporsi sefalopelvik. (Mochtar, 1998: 91).
Menurut Manuaba (1999), bentuk-bentuk
persalinan dapat digolongkan menjadi :
1) Persalinan
spontan, yaitu bila persalinan berlangsung dengan tenaga sendiri.
2) Persalinan
buatan, yaitu bila persalinan dengan rangsangan sehingga terdapat kekuatan
untuk persalinan.
3) Persalinan
anjuran, yaitu persalinan yang paling ideal karena tidak memerlukan bantuan
apapun dan mempunyai trauma persalinan yang paling ringan sehingga kualitas
sumber daya manusia dapat terjamin.
Syaifuddin,
dkk (2006: 100-101) menjelaskan bahwa persalinan dibagi dalam 4 kala, yaitu:
1) Kala I
dimulai dari saat persalinan dimulai sampai pembukaan lengkap (10 cm). proses
ini terbagi dalam 2 fase, fase laten (8 jam) serviks membuka sampai 3 cm dan
fase aktif (7 jam) servik membuka dari 3 sampai 10 cm.
2) Kala II
dimulai dari pembukaan lengkap (10 cm) sampai bayi lahir. Proses ini biasanya
berlangsung 2 jam pada primi dan 1 jam pada multi.
3) Kala III
dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta yang berlangsung
tidak lebih dari 30 menit.
4)
Kala IV
dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama postpartum.
c. Sebab-sebab
Mulainya Persalinan
Sebab bagaimana terjadinya persalinan belum diketahui dengan
pasti, sehingga menimbulkan beberapa teori yang berkaitan dengan mulainya
kekuatan his. Beberapa teori yang memungkinkan terjadinya persalinan yaitu:
1) Teori
keregangan
Otot rahim mempunyai kemampuan
meregang dalam batas tertentu. Setelah melewati batas waktu tersebut terjadi
kontraksi sehingga persalinan dapat mulai. Keadaan uterus yang terus membesar
dan menjadi tegang mengakibatkan iskemia otot-otot uterus. Hal ini mungkin
merupakan faktor yang dapat mengganggu siskulasi uteroplasenter sehingga
plasenta mengalami degenerasi. Pada kehamilan ganda seringkali terjadi
kontraksi setelah keregangan tertentu, sehingga menimbulkan proses persalinan.
2) Teori
penurunan progesterone
Proses penuaan plasenta terjadi mulai umur kehamilan 28 minggu, dimana
terjadi penimbunan jaringan ikat, pembuluh darah mengalami penyempitan dan
buntu. Villi koriales mengalami perubahan-perubahan dan produksi
progesterone mengalami penurunan sehingga otot rahim lebih sensitive terhadap
oksitosin. Akibatnya otot rahim mulai berkontraksi setelah tercapai tingkat
penurunan progesterone tertentu.
3) Teori
oksitosin internal
Oksitosin dikeluarkan oleh
kelenjar hipofise parst posterior. Perubahan keseimbangan estrogen dan
progesteron dapat mengubah sensitivitas otot rahim, sehingga sering terjadi
kontraksi braxton hick. Menurunnya konsentrasi progesteron akibat tuanya
kehamilan maka oksitosin dapat meningkatkan aktivitas, sehingga persalinan
dimulai.
4) Teori prostaglandin
Konsentrasi prostaglandin
meningkat sejak umur kehamilan 15 minggu, yang dikeluarkan oleh desidua.
Pemberian prostaglandin pada saat hamil dapat menimbulkan kontraksi otot rahim
sehingga terjadi persalinan. Prostaglandin dianggap dapat merupakan pemicu
terjadinya persalinan.
5) Teori hipotalamus-pituitari dan landula suprarenalis
Teori ini menunjukkan pada
kehamilan dengan anensefalus sering terjadi keterlambatan persalinan
karena tidak terbentuk hipotalamus.
6) Teori berkurangnya nutrisi
Berkurangnya nutrisi pada janin
dikemukakan oleh Hippokrates untuk pertama kalinya. Bila nutrisi pada janin berkurang maka hasil konsepsi akan segera
dikeluarkan.
7) Faktor lain
Tekanan pada ganglion servikale
dari pleksus frankenhauser yang terletak di belakang serviks. Bila
ganglion ini tertekan maka kontraksi
uterus dapat dibangkitkan (Sumarah, dkk, 2009: 4).
2. Berat Bayi Lahir
Berat badan lahir adalah berat badan bayi
yang ditimbang 24 jam pertama kelahiran. Semakin besar berat bayi yang
dilahirkan meningkatkan risiko terjadinya ruptur perineum. Bayi besar adalah
bayi yang begitu lahir memiliki bobot lebih dari 4000 gram. Robekan perineum
terjadi pada kelahiran dengan berat badan bayi yang besar. Hal ini terjadi
karena semakin besar berat badan bayi yang dilahirkan akan meningkatkan risiko
terjadinya ruptur perineum karena perineum tidak cukup kuat menahan regangan
kepala bayi dengan berat badan bayi yang besar, sehingga pada proses kelahiran
bayi dengan berat badan bayi lahir yang
besar sering terjadi ruptur perineum. Kelebihan berat badan dapat disebabkan
oleh beberapa hal diantaranya ibu menderita Diabetes Melitus, ibu yang memiliki
riwayat melahirkan bayi besar, faktor
genetik, pengaruh kecukupan gizi. Berat bayi lahir normal adalah sekitar 2500
sampai 4000 gram (Saifuddin, 2002).
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan umur kehamilan
dan berat janin yang dilahirkan, yaitu sebagai berikut:
a. Abortus
1) Terhentinya dan keluarnya hasil konsepsi sebelum
mampu hidup di luar kandungan
2) Umur hamil sebelum 28 minggu
3) Berat janin kurang dari 1.000 gram
b. Persalinan prematuritas
1) Persalinan sebelum umur hamil 28 sampai 36 minggu
2) Berat janin kurang dari 2.499 gram
c. Persalinan aterm
1) Persalinan antara umur hamil 37 sampai 42 minggu
2) Berat janin di atas 2.500 gram
d. Persalinan serotinus
1) Persalinan melampaui umur hamil 42 minggu
2) Pada janin terdapat tanda postmaturitas
e. Persalinan presipitatus, yaitu persalinan
berlangsung cepat kurang dari 3 jam.
Klasifikasi
berat badan bayi baru lahir pada saat kelahiran menurut Saifuddin, 2002 sebagai
berikut:
a.
Bayi besar adalah bayi lebih dari 4000 gram.
b. Bayi
cukup adalah bayi berat badan lebih dari 2500 sampai 4000 gram.
c. Bayi
berat lahir rendah adalah bayi berat badan 1500 sampai 2500 gram.
d.
Bayi berat sangat rendah sekali adalah bayi dengan berat
badan 1000 sampai kurang dari 1500 gram
3. Perineum
a. Pengertian Perineum
Perineum adalah daerah yang
terletak antara vulva dan anus yang juga berperan dalam persalinan. Perineum
yang lunak dan elastis serta cukup lebar umumnya tidak memberikan kesukaran
dalam kelahiran kepala janin. Perineum yang kaku dan tidak elastis akan menghambat
persalinan kala II dan dapat meningkatkan resiko terhadap janin, juga dapat
menyebabkan robekan perineum yang luas sampai tingkat III (Mochtar, 1998: 127).
Perineum adalah lantai pelvis
dan struktur sekitarnya yang menempati pintu bawah panggul, di sebelah anterior
dibatasi oleh simfisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber iskiadikum dan di
sebalah posterior oleh oskoksigeus. Perienum pada pria dibatasi oleh skrotum
dan anus, sedangkan wanita oleh vulva dan anus (Kumala, dkk, 1998: 841).
Perineum adalah daerah antara
tepi bawah vulva dengan tepi depan anus. Batas otot-otot diafragma (m.levator
ani, m. Coccygeus) dan diafragma urogenitalis (m.perinealis transversus
profunda, m.constictor uretrehta) (Sumarah, 2009: 49).
Perineum merupakan ruang
berbentuk jajaran genjang yang terletak di bawah dasar panggul. Perineum
memiliki batas-batas sebagai berikut:
1) Superior: dasar panggul yang terdiri dari m. Levator
ani dan m. Coccygeus
2) Lateral: tulang dan ligamenta yang membentuk pintu
bawah panggul (exitus pelvis) yakni dari depan ke belakang angulus subpubicus,
ramus ischiopubicus, tuber ischiadicum, ligasecrotuberosom, os coccygis.
3) Inferior : kulit dan fascia
(Oxorn & Forte, 2010: 10)
b. Ruptur Perineum
Ruptur perineum adalah robekan
yang terjadi pada perineum sewaktu persalinan. Episiotomi adalah ruptura
perinei yangartifisialis (Mochtar, 1998: 111).
Ruptur perineum adalah
perlukaan jalan lahir. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan
pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat
dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh
kepala janin dengan cepat (Wiknjosastro, dkk, 2007: 665).
c. Derajat Ruptur Perineum
Menurut Wiknjosastro, dkk
(2007: 665) mengungkapkan bahwa apabila hanya kulit perineum dan mukosa vagina
yang robek dinamakan robekan perineum tingkat satu. Pada robekan tingkat dua
dinding belakang vagina dan jaringan ikat yang menghubungkan otot-otot
diafragma urogenitalis pada garis tengah terluka; dan pada robekan tingkat tiga
atau robekan total muskulus sfingter ani eksternum ikt ikut terputus dan
kadang-kadang dinding depan rektum ikut robek pula. Jarang sekali terjadi
robekan yang mulai pada dinding belakang vagina di atas introitus vagina dan
anak dilahirkan melalui robekan itu, sedangkan (dengan meninggalkan) perineum
sebelah depan tetap utuh (robekan perineum sentral).
Sumarah, dkk (2009: 158)
menjelaskan bahwa robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama
dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Namun hal ini dapat
dihindarkan atau dikurangi dengan jalan menjaga jangan sampai dasar panggul
dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Robekan perineum dibagi dalam 4
derajat, yaitu:
1) Derajat I: Mukosa vagina, fauchette psoterior, kulit
perineum
2) Derajat II: mukosa vagina, fauchette posterior,
kulit perineum, otot perineum
3) Derajat III: mukosa vagina, fauchette posterior,
kulit perineum, otot perineum, otot spinter ani eksterna.
4) Derajat IV: mukosa vagina, fauchette posterior,
kulit perineum, otot perineum, otot spinter ani eksterna, dinding rektum
anterior.
Gambar II.1 Derajat
ruptur perineum

d. Penyebab Ruptur Perineum
Hal-hal yang dapat menyebabkan
terjadinya ruptur perineum adalah sebagai berikut:
1) Partus presipitatus
2) Kepala janin besar dan janin besar
3) Pada presentasi defleksi (dahi, muka)
4) Pada primigravida (para)
5) Pada letak sunsang dan after coming head
6) Pimpinan persalinan yang salah
7) Pada obstetri operatif pervaginam: ekstrasi vakum,
ekstraksi forsep, versi dan ekstraksi serta embriotomi. (Mochtar, 1998: 111).
Persalinan
normal bisa mengakibatkan terjadinya kasus ruptur perineum pada ibu primipara
maupun multipara. Lapisan mukosa dan kulit perineum pada seorang ibu primipara
mudah terjadi ruptur yang bisa menimbulkan perdarahan pervaginam (Wiknjosastro,
2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi rupur perineum antara lain berat badan
bayi baru lahir, posisi ibu bersalin, cara meneran dan pimpinan persalinan
(Waspodo, 2001). Demikian pula Mochtar (1998) menyatakan bahwa derajat ruptur
perineum semakin besar bila besar bila berat badan bayi baru lahir terlalu
besar pula atau berat badan bayi baru lahir lebih 4000 gram.
B. Paritas
1. Pengertian
Paritas
Paritas adalah
jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup diluar rahim (28
minggu) (JHPIEGO, 2008). Sedangkan menurut Manuaba (2008), paritas adalah
wanita yang pernah melahirkan bayi aterm.
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang
dipunyai oleh seorang wanita (BKKBN, 2006). Menurut
Prawirohardjo (2009), paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan
grandemultipara.
2. Klasifikasi
Paritas
a.
Primipara
Primipara adalah wanita yang telah
melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidup di dunia luar (Varney,
2006).
b.
Multipara
·
Multipara
adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari satu kali
(Prawirohardjo, 2009).
·
Multipara
adalah wanita yang pernah melahirkan bayi viabel (hidup) beberapa kali
(Manuaba, 2008).
·
Multigravida
adalah wanita yang sudah hamil, dua kali atau lebih (Varney, 2006).
c.
Grandemultipara
·
Grandemultipara
adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan biasanya
mengalami penyulit dalam -
kehamilan dan persalinan (Manuaba, 2008).
·
Grandemultipara
adalah wanita yang pernah melahirkan bayi 6 kali atau lebih hidup atau mati (Rustam,
2005).
·
Grandemultipara
adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih (Varney, 2006).
C. Kerangka
Teori
Kerangka
teori merupakan kerangka untuk menjawab pertanyaan penelitian. Istilah “teori”
di sini menunjuk pada sumber penyusunan kerangka, yang bisa berupa teori yang
ada, definisi konsep, atau malah dapat pula dari logika (Sonjaya, 2010).
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas maka dapat digambarkan
kerangka teori yaitu sebagai berikut:
Tabel II.1 hubungan antara paritas
dan berat badan lahir bayi dengan kejadian rupture perineum (Mochtar, 1998).
![]() |
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESA, DAN
DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka
Konsep Penelitian
Kerangka konsep
penelitian pada dasarnya adalah kerangka
hubungan antar konsep-konsep atau
variable yang diambil (diukur) melalui penelitian - penelitian yang dilakukan
(Notoatmojo, 2005). Kerangka konsep pada penelitian ini sebagai berikut :
Tabel III.1 Hubungan antara paritas dan berat badan lahir bayi dengan
kejadian ruptur perineum
Variabel Independen Variabel Dependen
B. Variabel
Penelitian
Menurut
Notoatmodjo (2005) variabel mengandung pengertian ukuran atau ciri yang
dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki
oleh kelompok yang lain. Definisi lain mengatakan bahwa variabel adalah sesuatu
yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan
oleh suatu penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu.
Sedangkan menurut
Arikunto (2006) variabel adalah gejala yang bervariasi yang menjadi objek
penelitian.
Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Variabel
bebas (independent variable)
Variabel bebas
atau variabel yang dapat mempengaruhi dalam penelitian ini adalah paritas dan
berat bayi lahir
2.
Variabel
terikat (dependent variable)
Variabel
terikat atau variabel yang dipengaruhi dalam penelitian ini adalah rupture
perineum.
C. Hipotesis
Dari kerangka konsep di atas, maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ha : Terdapat hubungan antara
paritas dan berat bayi lahir dengan kejadian rupture perineum.
Ho : Tidak terdapat hubungan antara
paritas dan berat bayi lahir dengan kejadian rupture perineum.
D. Definisi
Operasional
Definisi operasional sangat diperlukan untuk
membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang diamati atau di
teliti (Arikunto, 2006). Definisi opersional juga bermanfaat untuk mengarahkan
pada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel yang bersangkutan serta
pengembangan instrumen/alat ukur (Notoatmojo, 2005).
Tabel. III.2 Definisi Operasional
|
No
|
Variabel
|
Definisi Operasional
|
Alat ukur
|
Cara ukur
|
Hasil
|
Skala
|
|
|
Kriteria
|
Nilai
|
||||||
|
1.
|
Paritas
|
Banyaknya
kelahiran hidup yang dipunyai ibu
|
Angket
|
Ceklis
|
Primipara(1)
Multipara(2-4)
Grandemultipara
(≥5)
|
Kode 1
Kode 2
Kode 3
|
Nominal
|
|
2
|
Berat
bayi lahir
|
Berat badan bayi yang ditimbang 24
jam pertama kelahiran.
|
Angket
|
Ceklis
|
BBLL
(>4000
gram)
Normal
(2500-4000
gram)
BBLR
(<2500
gram)
|
Kode 1
Kode 2
Kode 3
|
Nominal
|
|
3
|
Rupture
perineum
|
Robekan
yang terjadi pada perineum sewaktu persalinan.
|
Angket
|
Ceklis
|
Rupture
Tidak
rupture
|
Kode 1
Kode 2
|
Nominal
|
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Rancangan
Penelitian merupakan suatu rencana struktur dan strategi untuk menjawab
permasalahan yang dihadapi atau diteliti dengan mengoptimalkan validitas. Jenis
penelitian ini adalah korelasi yaitu bertujuan untuk menemukan ada tidaknya
hubungan dan apabila ada, berapa eratnya hubungan serta berarti atau tidaknya
hubungan tersebut (Arikunto, 2006: 270).
Penelitian ini
bersifat deskriptif analitik, hal ini dikarenakan setiap variabel dalam
penelitian, baik variabel independen (paritas dan berat bayi lahir) maupun
variabel dependen (kejadian rupture perineum) akan digambarkan secara
univariat, juga akan diketahui hubungan
antara kedua variabel (bivariat).
Rancangan
penelitian ini menggunakan pendekatan cross
sectional yaitu suatu penelitian yang dilakukan sesaat, artinya objek
penelitian diamati hanya satu kali dan tidak ada perlakuan terhadap responden.
Untuk
mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen maka
pengukurannya dilakukan secara bersama-sama (Notoatmodjo, 2005).
B. Populasi
Dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah
totalitas semua kejadian kasus, orang atau keseluruhan atau objek yang
diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin
di Puskesmas Lauwa pada bulan November
sampai dengan Desember 2012.
2. Sampel
Notoatmodjo,
(2005: 79) Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sedangkan menurut Arikunto (2002: 112) Sampel adalah sebagian atau wakil
populasi yang diteliti.
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh
jumlah populasi yang kebetulan ada pada saat dilakukan penelitian (sampel
jenuh).
Adapun
teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
total sampling.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini adalah dilaksanakan di Puskesmas Lauwa tahun 2012.
D. Pengumpulan
Data
Dalam penelitian
ini, untuk mengukur variabel independen (paritas dan berat bayi lahir) dan
variabel dependen (rupture perineum) digunakan angket berupa ceklis yang berisi
paritas, berat bayi lahir dan keadaan rupture ibu.
E. Pengolahan Data dan Analisa Data
2. Pengolahan
Data
Setelah data terkumpul,
maka dilakukan pengolahan data yang melalui berupa tahapan sebagai berikut:
a. Seleksi data (Editing)
Dimana penulis akan melakukan penelitian
terhadap data yang diperoleh dan diteliti apakah terdapat kekeliruan atau tidak
dalam penelitian.
b. Pemberian kode (Coding)
Setelah dilakukan editing, selanjutnya
penulis memberikan kode tertentu pada tiap-tiap data sehingga memudahkan dalam
melakukan analisis data.
c. Pengelompokkan data (Tabulating)
Pada tahap ini, jawaban-jawaban responden
yang sama dikelompokkan dengan teliti dan teratur lalu dihitung dan
dijumlahkan, kemudian dituliskan dalam bentuk tabel-tabel.
3. Analisa
Data
a. Analisis
Univariat
Analisis univariat dalam
penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan deskripsi variabel independen.
Adapun rumus yang digunakan adalah rata-rata hitung (mean) yang dikemukakan oleh Syafirudin (2010: 103) sebagai berikut:
Keterangan:
P : Presentase
f : Frekuensi
N : Jumlah subjek
b. Analisis
Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melihat
hubungan antara variabel independen dan dependen. Untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan antara kedua variabel maka dalam penelitian ini digunakan uji chi-square.
Untuk mengetahui nilai ekspektasi atau
nilai yang diharapkan terjadi sesuai dengan hipotesis penelitian maka digunakan
rumus sebagai berikut:
Keterangan:
X2 :
Chi-Square hitung
0 : Frekuensi data observasi
E : Frekuensi harapan (Eko Budiarto,
2002: 216)
Sedangkan untuk
mengetahui besarnya derajat kebebasan (dk)
maka digunakan rumus sebagai berikut:
dk = (B-1) (K-1)
Keterangan:
B :
Jumlah baris
K :
Jumlah kolom
Setelah didapatkan harga X2hitung,
kemudian dibandingkan dengan X2tabel
pada tingkat kepercayaan 95% atau derajat kesalahan 5% (0,05) maka jika X2hitung
> X2tabel berarti terdapat hubungan antara kedua
variabel dan jika X2hitung
< X2tabel maka
tidak terdapat hubungan antara kedua variabel.
