Kamis, 03 Januari 2013

Skripsi bbl dan rupture

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

         Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. AKI menggambarkan jumlah wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 100.000 kelahiran hidup. AKI juga dapat digunakan dalam pemantauan kematian terkait dengan kehamilan dan persalinan. Indikator ini dipengaruhi status kesehatan secara umum, pendidikan dan pelayanan selama kehamilan dan melahirkan. Sensitifitas AKI terhadap perbaikan pelayanan kesehatan menjadikannya indikator keberhasilan pembangunan sektor kesehatan. AKI mengacu pada jumlah kematian ibu yang terkait dengan masa kehamilan, persalinan, dan nifas (Depkes RI, 2010, http://www.depkes.go.id).

         Sampai saat ini penurunan angka kematian ibu per 100 ribu kelahiran bayi hidup masih terlalu lamban untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) dalam rangka mengurangi tiga per empat jumlah perempuan yang meninggal selama hamil dan melahirkan pada 2015, demikian pernyataan resmi World Health Organitation (WHO). Dalam pernyataan resmi WHO dijelaskan, untuk mencapai target MDGs penurunan angka kematian ibu antara 1990 dan 2015 seharusnya 5,5 persen per tahun. Namun data WHO, UNICEF,         UNFPA dan Bank Dunia menunjukkan angka kematian ibu hingga saat ini masih kurang dari satu persen per tahun. Pada 2005, sebanyak 536.000 perempuan meninggal dunia akibat masalah persalinan, lebih rendah dari jumlah kematian ibu tahun 1990 yang sebanyak 576.000.  Menurut data WHO, sebanyak 99 persen kematian ibu akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negara-negara berkembang. Rasio kematian ibu di negara-negara berkembang merupakan yang tertinggi dengan 450 kematian ibu per 100 ribu kelahiran bayi hidup jika dibandingkan dengan rasio kematian ibu di sembilan negara maju dan 51 negara persemakmura (Bambang, 2010, http://www.antaranews.com).

         Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2007 menyebutkan bahwa angka kematian ibu di Indonesia untuk periode 5 tahun sebelum survei (2003-2007) sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini lebih rendah dibandingkan AKI hasil SDKI tahun 2002-2003 yang mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup. Hal tersebut menunjukkan adanya kecenderungan penurunan AKI sejak tahun 1994 sampai dengan tahun 2007, sebagaimana dapat dilihat pada grafik berikut:
Gambar I.1. Angka Kematian Ibu (Per 100.000 kelahiran hidup)
di Indonesia Tahun 1994-2007
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008
         Sementara di propinsi Sulawesi Selatan, menurut Wakil Gubernur Agus Arifin Nu’mang, program kesehatan gratis yang dilaksanakan sejak 4 tahun terakhir mampu menekan jumlah kematian ibu dan bayi. Data BPS Sulsel menyebutkan, angka kematian ibu hanya 76 per 1000 kelahiran. Sedangkan kematian bayi hanya 5 per 1000 kelahiran. Pencapaian tersebut diakui lebih baik dari target MDGs yakni 102 per 1000 kelahiran hingga tahun 2015 (www.makassar.radiosmartfm.com)
         Direktur Bina Kesehatan Ibu Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Indonesia, Sri Hermiyanti mengatakan penyebab langsung kematian ibu terkait kehamilan dan persalinan terutama adalah perdarahan (28%). Sebab lain, yaitu eklamsi (24%), infeksi (11%), partus lama (5%), dan abortus (5%).  Adapun penyebab perdarahan pascapersalinan, antara lain, karena gangguan pada rahim, pelepasan plasenta, robekan jalan lahir, dan gangguan faktor pembekuan darah. Risiko akan meningkat, antara lain, pada ibu hamil yang menderita anemia dan rahim teregang terlalu besar karena bayi besar (Ine, 2010, http://kesehatan.kompas.com). Hal serupa juga diungkapkan oleh Mochtar (1998) bahwa salah satu penyebab terjadinya perdarahan postpartum adalah laserasi jalan lahir yaitu mencapai 4%-5% pada setiap kejadian perdarahan postpartum.

         Ruptur perineum atau robekan jalan lahir merupakan masalah yang sering terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga terjadi pada persalinan berikutnya. Hasil prasurvey yang dilakukan di Puskesmas Lauwa pada bulan Januari 2012 menunjukkan bahwa dari 14 persalinan 9 (64,29%) di antaranya mengalami rupture perineum dan 5 (35,71%) tidak mengalami rupture perineum. Selain itu, terlihat adanya kecenderungan ruptur perineum terjadi pada ibu primipara. Hal tersebut menunjukkan adanya kesamaan antara teori-teori yang menyatakan bahwa terjadinya ruptur perineum berkaitan dengan persalinan pertama dan berat bayi yang dilahirkan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara paritas dan berat badan lahir bayi dengan kejadian rupture perineum pada persalinan normal.

B.   Rumusan Masalah

         Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian yaitu adakah hubungan antara paritas dan berat badan lahir bayi dengan kejadian rupture perineum pada persalinan normal di Puskesmas Lauwa tahun 2012?

C.   Tujuan Penelitian

1.    Tujuan Umum

   Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara paritas dan berat badan lahir bayi dengan kejadian rupture perineum pada persalinan normal di Puskesmas Lauwa tahun 2012.

2.    Tujuan Khusus

a.    Untuk mengetahui distribusi frekuensi ibu yang bersalin dengan rupture perineum dan tanpa rupture perineum di Puskesmas Lauwa tahun 2012.

b.    Untuk mengetahui distribusi frekuensi paritas ibu bersalin yang mengalami rupture perineum dan tidak mengalami rupture perineum di Puskesmas Lauwa tahun 2012.


c.    Untuk mengetahui distribusi frekuensi berat bayi yang dilahirkan ibu yang mengalami rupture perineum dan tidak mengalami rupture perineum di Puskesmas Lauwa tahun 2012.

d.    Untuk mengetahui hubungan antara paritas dengan kejadian rupture perineum pada persalinan normal di Puskesmas Lauwa tahun 2012.


e.    Untuk mengetahui hubungan antara berat badan lahir bayi dengan kejadian rupture perineum pada persalinan normal di Puskesmas Lauwa tahun 2012.


D.   Manfaat Penelitian 

1.    Bagi Ibu
Untuk menambah pengetahuan ibu tentang rupture perineum sehingga jika terjadi rupture perineum akan berupaya selalu menjaga kebersihan di daerah luka agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan kesehatan.

2.    ­Bagi Peneliti
Dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan penulis tentang rupture perineum.

3.    Bagi Instansi pendidikan
Dapat menjadi bahan dasar/masukan bagi Instansi terkait khususnya tentang hubungan antara paritas dan berat badan lahir bayi dengan kejadian rupture perineum pada persalinan normal di Puskesmas Lauwa tahun 2012.



4.    Penelitian Lain
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dalam mengembangkan penelitian yang lebih lanjut.

E.   Ruang Lingkup
1.   Jenis                    :  Analitik
2.    Objek                    : Hubungan paritas dan berat badan lahir bayi dengan kejadian rupture perineum pada persalinan normal
3.    Subjek                 :  Ibu bersalin.
4.    Tempat penelitian : Puskesmas Lauwa
5.    Waktu penelitian   : November sampai dengan Desember 2012
6.    Alasan penelitian :  Penyebab langsung kematian ibu terkait kehamilan dan persalinan terutama adalah perdarahan. Sedangkan penyebab perdarahan pascapersalinan, antara lain, karena gangguan pada rahim, pelepasan plasenta, robekan jalan lahir, dan gangguan faktor pembekuan darah. Risiko akan meningkat, antara lain, pada ibu hamil yang menderita anemia dan rahim teregang terlalu besar karena bayi besar. Hasil prasurvey yang dilakukan di Puskesmas Lauwa bulan Januari 2012 menunjukkan bahwa dari 14 persalinan 9 (64,29%) di antaranya mengalami rupture perineum dan 5 (35,71%) tidak mengalami rupture perineum. Selain itu, terlihat adanya kecenderungan ruptur perineum terjadi pada ibu primipara.
















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.   Persalinan Normal dan Ruptur Perineum

1.    Persalinan Normal

a.    Pengertian Persalinan

   Persalinan adalah di mana bayi, placenta dan selaput ketuban keluar dari rahim ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37-42 minggu) tanpa disertai adanya penyulit. Sedangkan persalinan normal adalah serangkaian kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi yang cukup bulan, disusul dengan pengeluaran placenta dan selaput janin dari tubuh bayi (Ikatan Bidan Indonesia, 2004).

   Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Saifuddin, dkk, 2006: 100).
   Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis yang normal dalam kehidupan. Beberapa istilah yang berkaitan dengan persalinan adalah sebagai berikut:

1)    Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks, dan janin turun ke jalan lahir.

2)    Kelahiran adalah proses dimana janin dan ketuban di dorong keluar melalui jalan lahir. Dengan demikian persalinan adalah rangkaian peristiwa mulai dari kenceng-kenceng teratur sampai dikeluarkannya produk konsepsi (janin, plasenta, ketuban dan cairan ketuban) dari uterus ke dunia luar melalui jalan lahir atau melalui jalan lain dengan bantuan atau dengan kekuatan sendiri.

3)    Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam waktu 18-24 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin. (Sumarah, dkk, 2009:2).



b.    Jenis Persalinan

Ada beberapa istilah pada masalah partus, yaitu:

1)    Menurut cara persalinan:

a)    Partus biasa (normal), disebut juga partus spontan, adalah proses lahirnya bayi pada LBK dengan tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu danbayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam.

b)    Partus luas biasa (abnormal) adalah persalinan pervaginam dengan bantuan alat-alat atau melalui dinding perut dengan operasi caesarea.


2)    Menurut tua (umur) kehamilan:

a)      Abortus (keguguran) adalah terhentinya kehamilan sebelum janin dapat hidup (viable) – berat janin di bawah 1000 g – tua kehamilan di bawah 28 minggu.
b)      Partus prematurus adalah persalinan dari hasil konsepsi pada kehamilan 28-36 minggu, janin dapat hidup tetapi prematur, berat janin antara 1.000-2.500 g.

c)      Partus maturus atau a term (cukup bulan) adalah partus pada kehamilan 37-40 minggu, janin matur, berat badan di atas 2.500 g.


d)     Partus postmaturus (serotinus) adalah persalinan yang terjadi 2 minggu atau lebih dari waktu partus yang ditaksir, janin disebut post matur.

e)      Partus presipatatus adalah partus yang berlangsung cepat, mungkin di kamar mandi, di atas beca dan sebagainya.


f)       Partus percobaan adalah suatu penilaian kemajuan persalinan untuk memperoleh bukti tentang ada atau tidaknya disproporsi sefalopelvik. (Mochtar, 1998: 91).



   Menurut Manuaba (1999), bentuk-bentuk persalinan dapat digolongkan menjadi :

1)      Persalinan spontan, yaitu bila persalinan berlangsung dengan tenaga sendiri.
2)      Persalinan buatan, yaitu bila persalinan dengan rangsangan sehingga terdapat kekuatan untuk persalinan.
3)      Persalinan anjuran, yaitu persalinan yang paling ideal karena tidak memerlukan bantuan apapun dan mempunyai trauma persalinan yang paling ringan sehingga kualitas sumber daya manusia dapat terjamin.

      Syaifuddin, dkk (2006: 100-101) menjelaskan bahwa persalinan dibagi dalam 4 kala, yaitu:

1)      Kala I dimulai dari saat persalinan dimulai sampai pembukaan lengkap (10 cm). proses ini terbagi dalam 2 fase, fase laten (8 jam) serviks membuka sampai 3 cm dan fase aktif (7 jam) servik membuka dari 3 sampai 10 cm.

2)      Kala II dimulai dari pembukaan lengkap (10 cm) sampai bayi lahir. Proses ini biasanya berlangsung 2 jam pada primi dan 1 jam pada multi.


3)      Kala III dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta yang berlangsung tidak lebih dari 30 menit.

4)      Kala IV dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama postpartum.

c.    Sebab-sebab Mulainya Persalinan

   Sebab bagaimana terjadinya persalinan belum diketahui dengan pasti, sehingga menimbulkan beberapa teori yang berkaitan dengan mulainya kekuatan his. Beberapa teori yang memungkinkan terjadinya persalinan yaitu:

1)    Teori keregangan
Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas tertentu. Setelah melewati batas waktu tersebut terjadi kontraksi sehingga persalinan dapat mulai. Keadaan uterus yang terus membesar dan menjadi tegang mengakibatkan iskemia otot-otot uterus. Hal ini mungkin merupakan faktor yang dapat mengganggu siskulasi uteroplasenter sehingga plasenta mengalami degenerasi. Pada kehamilan ganda seringkali terjadi kontraksi setelah keregangan tertentu, sehingga menimbulkan proses persalinan.

2)    Teori penurunan progesterone
Proses penuaan plasenta terjadi mulai umur kehamilan 28 minggu, dimana terjadi penimbunan jaringan ikat, pembuluh darah mengalami penyempitan dan buntu. Villi koriales mengalami perubahan-perubahan dan produksi progesterone mengalami penurunan sehingga otot rahim lebih sensitive terhadap oksitosin. Akibatnya otot rahim mulai berkontraksi setelah tercapai tingkat penurunan progesterone tertentu.

3)    Teori oksitosin internal
Oksitosin dikeluarkan oleh kelenjar hipofise parst posterior. Perubahan keseimbangan estrogen dan progesteron dapat mengubah sensitivitas otot rahim, sehingga sering terjadi kontraksi braxton hick. Menurunnya konsentrasi progesteron akibat tuanya kehamilan maka oksitosin dapat meningkatkan aktivitas, sehingga persalinan dimulai.

4)    Teori prostaglandin
Konsentrasi prostaglandin meningkat sejak umur kehamilan 15 minggu, yang dikeluarkan oleh desidua. Pemberian prostaglandin pada saat hamil dapat menimbulkan kontraksi otot rahim sehingga terjadi persalinan. Prostaglandin dianggap dapat merupakan pemicu terjadinya persalinan.

5)    Teori hipotalamus-pituitari dan landula suprarenalis
Teori ini menunjukkan pada kehamilan dengan anensefalus sering terjadi keterlambatan persalinan karena tidak terbentuk hipotalamus. 

6)    Teori berkurangnya nutrisi
Berkurangnya nutrisi pada janin dikemukakan oleh Hippokrates untuk pertama kalinya. Bila nutrisi pada janin berkurang maka hasil konsepsi akan segera dikeluarkan.

7)    Faktor lain
Tekanan pada ganglion servikale dari pleksus frankenhauser yang terletak di belakang serviks. Bila ganglion  ini tertekan maka kontraksi uterus dapat dibangkitkan (Sumarah, dkk, 2009: 4).

2.    Berat Bayi Lahir

   Berat badan lahir adalah berat badan bayi yang ditimbang 24 jam pertama kelahiran. Semakin besar berat bayi yang dilahirkan meningkatkan risiko terjadinya ruptur perineum. Bayi besar adalah bayi yang begitu lahir memiliki bobot lebih dari 4000 gram. Robekan perineum terjadi pada kelahiran dengan berat badan bayi yang besar. Hal ini terjadi karena semakin besar berat badan bayi yang dilahirkan akan meningkatkan risiko terjadinya ruptur perineum karena perineum tidak cukup kuat menahan regangan kepala bayi dengan berat badan bayi yang besar, sehingga pada proses kelahiran bayi dengan berat  badan bayi lahir yang besar sering terjadi ruptur perineum. Kelebihan berat badan dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya ibu menderita Diabetes Melitus, ibu yang memiliki riwayat melahirkan  bayi besar, faktor genetik, pengaruh kecukupan gizi. Berat bayi lahir normal adalah sekitar 2500 sampai 4000 gram (Saifuddin, 2002).

   Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan umur kehamilan dan berat janin yang dilahirkan, yaitu sebagai berikut:


a.    Abortus
1)    Terhentinya dan keluarnya hasil konsepsi sebelum mampu hidup di luar kandungan
2)    Umur hamil sebelum 28 minggu
3)    Berat janin kurang dari 1.000 gram

b.    Persalinan prematuritas
1)    Persalinan sebelum umur hamil 28 sampai 36 minggu
2)    Berat janin kurang dari 2.499 gram

c.    Persalinan aterm
1)    Persalinan antara umur hamil 37 sampai 42 minggu
2)    Berat janin di atas 2.500 gram

d.    Persalinan serotinus
1)    Persalinan melampaui umur hamil 42 minggu
2)    Pada janin terdapat tanda postmaturitas

e.    Persalinan presipitatus, yaitu persalinan berlangsung cepat kurang dari 3 jam.

   Klasifikasi berat badan bayi baru lahir pada saat kelahiran menurut Saifuddin, 2002 sebagai berikut:
a.    Bayi besar adalah bayi lebih dari 4000 gram.

b.    Bayi cukup adalah bayi berat badan lebih dari 2500 sampai 4000 gram.

c.    Bayi berat lahir rendah adalah bayi berat badan 1500 sampai 2500 gram.

d.    Bayi berat sangat rendah sekali adalah bayi dengan berat badan 1000 sampai kurang dari 1500 gram

3.    Perineum

a.    Pengertian Perineum

   Perineum adalah daerah yang terletak antara vulva dan anus yang juga berperan dalam persalinan. Perineum yang lunak dan elastis serta cukup lebar umumnya tidak memberikan kesukaran dalam kelahiran kepala janin. Perineum yang kaku dan tidak elastis akan menghambat persalinan kala II dan dapat meningkatkan resiko terhadap janin, juga dapat menyebabkan robekan perineum yang luas sampai tingkat III (Mochtar, 1998: 127).

   Perineum adalah lantai pelvis dan struktur sekitarnya yang menempati pintu bawah panggul, di sebelah anterior dibatasi oleh simfisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber iskiadikum dan di sebalah posterior oleh oskoksigeus. Perienum pada pria dibatasi oleh skrotum dan anus, sedangkan wanita oleh vulva dan anus (Kumala, dkk, 1998: 841).

   Perineum adalah daerah antara tepi bawah vulva dengan tepi depan anus. Batas otot-otot diafragma (m.levator ani, m. Coccygeus) dan diafragma urogenitalis (m.perinealis transversus profunda, m.constictor uretrehta) (Sumarah, 2009: 49).

   Perineum merupakan ruang berbentuk jajaran genjang yang terletak di bawah dasar panggul. Perineum memiliki batas-batas sebagai berikut:

1)    Superior: dasar panggul yang terdiri dari m. Levator ani dan m. Coccygeus

2)    Lateral: tulang dan ligamenta yang membentuk pintu bawah panggul (exitus pelvis) yakni dari depan ke belakang angulus subpubicus, ramus ischiopubicus, tuber ischiadicum, ligasecrotuberosom, os coccygis.

3)    Inferior : kulit dan fascia
(Oxorn & Forte, 2010: 10)

b.    Ruptur Perineum

   Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum sewaktu persalinan. Episiotomi adalah ruptura perinei yangartifisialis (Mochtar, 1998: 111).

   Ruptur perineum adalah perlukaan jalan lahir. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat (Wiknjosastro, dkk, 2007: 665).



c.    Derajat Ruptur Perineum

   Menurut Wiknjosastro, dkk (2007: 665) mengungkapkan bahwa apabila hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek dinamakan robekan perineum tingkat satu. Pada robekan tingkat dua dinding belakang vagina dan jaringan ikat yang menghubungkan otot-otot diafragma urogenitalis pada garis tengah terluka; dan pada robekan tingkat tiga atau robekan total muskulus sfingter ani eksternum ikt ikut terputus dan kadang-kadang dinding depan rektum ikut robek pula. Jarang sekali terjadi robekan yang mulai pada dinding belakang vagina di atas introitus vagina dan anak dilahirkan melalui robekan itu, sedangkan (dengan meninggalkan) perineum sebelah depan tetap utuh (robekan perineum sentral).

   Sumarah, dkk (2009: 158) menjelaskan bahwa robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Namun hal ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan jalan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Robekan perineum dibagi dalam 4 derajat, yaitu:



1)    Derajat I: Mukosa vagina, fauchette psoterior, kulit perineum

2)    Derajat II: mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum, otot perineum

3)    Derajat III: mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum, otot perineum, otot spinter ani eksterna.

4)    Derajat IV: mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum, otot perineum, otot spinter ani eksterna, dinding rektum anterior.

Gambar II.1 Derajat ruptur perineum



d.    Penyebab Ruptur Perineum

   Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya ruptur perineum adalah sebagai berikut:

1)    Partus presipitatus

2)    Kepala janin besar dan janin besar

3)    Pada presentasi defleksi (dahi, muka)

4)    Pada primigravida (para)

5)    Pada letak sunsang dan after coming head

6)    Pimpinan persalinan yang salah

7)    Pada obstetri operatif pervaginam: ekstrasi vakum, ekstraksi forsep, versi dan ekstraksi serta embriotomi. (Mochtar, 1998: 111).

   Persalinan normal bisa mengakibatkan terjadinya kasus ruptur perineum pada ibu primipara maupun multipara. Lapisan mukosa dan kulit perineum pada seorang ibu primipara mudah terjadi ruptur yang bisa menimbulkan perdarahan pervaginam (Wiknjosastro, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi rupur perineum antara lain berat badan bayi baru lahir, posisi ibu bersalin, cara meneran dan pimpinan persalinan (Waspodo, 2001). Demikian pula Mochtar (1998) menyatakan bahwa derajat ruptur perineum semakin besar bila besar bila berat badan bayi baru lahir terlalu besar pula atau berat badan bayi baru lahir lebih 4000 gram.

B.   Paritas

1.    Pengertian Paritas

   Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup diluar rahim (28 minggu) (JHPIEGO, 2008). Sedangkan menurut Manuaba (2008), paritas adalah wanita yang pernah melahirkan bayi aterm.

   Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita (BKKBN, 2006). Menurut Prawirohardjo (2009), paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan grandemultipara.




2.    Klasifikasi Paritas

a.    Primipara

Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidup di dunia luar (Varney, 2006).

b.    Multipara

·         Multipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari satu kali (Prawirohardjo, 2009).

·         Multipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi viabel (hidup) beberapa kali (Manuaba, 2008).

·         Multigravida adalah wanita yang sudah hamil, dua kali atau lebih (Varney, 2006).

c.    Grandemultipara

·         Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam -

 kehamilan dan persalinan (Manuaba, 2008).

·         Grandemultipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi 6 kali atau lebih hidup atau mati (Rustam, 2005).

·         Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih (Varney, 2006).

C.   Kerangka Teori

   Kerangka teori merupakan kerangka untuk menjawab pertanyaan penelitian. Istilah “teori” di sini menunjuk pada sumber penyusunan kerangka, yang bisa berupa teori yang ada, definisi konsep, atau malah dapat pula dari logika (Sonjaya, 2010). Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas maka dapat digambarkan kerangka teori yaitu sebagai berikut:





Tabel II.1 hubungan antara paritas dan berat badan lahir bayi dengan kejadian rupture perineum (Mochtar, 1998).


 













BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESA, DAN
DEFINISI OPERASIONAL

A.   Kerangka Konsep Penelitian

   Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah  kerangka hubungan  antar konsep-konsep atau variable yang diambil (diukur) melalui penelitian - penelitian yang dilakukan (Notoatmojo, 2005). Kerangka konsep pada penelitian ini sebagai berikut :

Tabel III.1 Hubungan antara paritas dan berat badan lahir bayi dengan kejadian ruptur perineum

   Variabel Independen                                      Variabel Dependen
                                                            





B.   Variabel Penelitian

   Menurut Notoatmodjo (2005) variabel mengandung pengertian ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok yang lain. Definisi lain mengatakan bahwa variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu.

   Sedangkan menurut Arikunto (2006) variabel adalah gejala yang bervariasi yang menjadi objek penelitian.

   Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.    Variabel bebas (independent variable)
Variabel bebas atau variabel yang dapat mempengaruhi dalam penelitian ini adalah paritas dan berat bayi lahir

2.    Variabel terikat (dependent variable)
      Variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi dalam penelitian ini adalah rupture perineum.

C.   Hipotesis

      Dari kerangka konsep di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ha    :  Terdapat hubungan antara paritas dan berat bayi lahir dengan kejadian rupture perineum.
Ho    :  Tidak terdapat hubungan antara paritas dan berat bayi lahir dengan kejadian rupture perineum.

D.   Definisi Operasional

   Definisi operasional sangat diperlukan untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang diamati atau di teliti (Arikunto, 2006). Definisi opersional juga bermanfaat untuk mengarahkan pada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen/alat ukur (Notoatmojo, 2005).




Tabel. III.2  Definisi Operasional

No
Variabel
Definisi Operasional
Alat ukur
Cara ukur
Hasil
Skala
Kriteria
Nilai
1.
Paritas
Banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai ibu
Angket
Ceklis
Primipara(1)

Multipara(2-4)

Grandemultipara (≥5)
Kode 1
Kode 2
Kode 3
Nominal
2
Berat bayi lahir
Berat badan bayi yang ditimbang 24 jam pertama kelahiran.
Angket
Ceklis
BBLL
(>4000 gram)

Normal
(2500-4000 gram)

BBLR
(<2500 gram)
Kode 1

Kode 2


Kode 3
Nominal
3
Rupture perineum
Robekan yang terjadi pada perineum sewaktu persalinan.
Angket
Ceklis
Rupture


Tidak rupture
Kode 1

Kode 2
Nominal

BAB IV
METODE PENELITIAN

A.    Rancangan Penelitian

   Rancangan Penelitian merupakan suatu rencana struktur dan strategi untuk menjawab permasalahan yang dihadapi atau diteliti dengan mengoptimalkan validitas. Jenis penelitian ini adalah korelasi yaitu bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan dan apabila ada, berapa eratnya hubungan serta berarti atau tidaknya hubungan tersebut (Arikunto, 2006: 270).

   Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, hal ini dikarenakan setiap variabel dalam penelitian, baik variabel independen (paritas dan berat bayi lahir) maupun variabel dependen (kejadian rupture perineum) akan digambarkan secara univariat, juga akan diketahui hubungan antara kedua variabel (bivariat).

   Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian yang dilakukan sesaat, artinya objek penelitian diamati hanya satu kali dan tidak ada perlakuan terhadap responden.
Untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen maka pengukurannya dilakukan secara bersama-sama (Notoatmodjo, 2005).

B.   Populasi Dan Sampel
1.    Populasi

   Populasi adalah totalitas semua kejadian kasus, orang atau keseluruhan atau objek yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin di Puskesmas Lauwa pada bulan November sampai dengan Desember 2012.

2.    Sampel

   Notoatmodjo, (2005: 79) Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sedangkan menurut Arikunto (2002: 112) Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.

   Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh jumlah populasi yang kebetulan ada pada saat dilakukan penelitian (sampel jenuh).

Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik total sampling.

C.   Lokasi Penelitian

   Penelitian ini adalah dilaksanakan di Puskesmas Lauwa tahun 2012.

D.   Pengumpulan Data

   Dalam penelitian ini, untuk mengukur variabel independen (paritas dan berat bayi lahir) dan variabel dependen (rupture perineum) digunakan angket berupa ceklis yang berisi paritas, berat bayi lahir dan keadaan rupture ibu.

E.   Pengolahan Data dan Analisa Data

2.    Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, maka dilakukan pengolahan data yang melalui berupa tahapan sebagai berikut:





a.    Seleksi data (Editing)

      Dimana penulis akan melakukan penelitian terhadap data yang diperoleh dan diteliti apakah terdapat kekeliruan atau tidak dalam penelitian.

b.    Pemberian kode (Coding)

      Setelah dilakukan editing, selanjutnya penulis memberikan kode tertentu pada tiap-tiap data sehingga memudahkan dalam melakukan analisis data.

c.    Pengelompokkan data (Tabulating)

      Pada tahap ini, jawaban-jawaban responden yang sama dikelompokkan dengan teliti dan teratur lalu dihitung dan dijumlahkan, kemudian dituliskan dalam bentuk tabel-tabel.







3.    Analisa Data

a.    Analisis Univariat

Analisis univariat dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan deskripsi variabel independen. Adapun rumus yang digunakan adalah rata-rata hitung (mean) yang dikemukakan oleh Syafirudin (2010: 103) sebagai berikut:
Keterangan:
P : Presentase
f  : Frekuensi
N : Jumlah subjek

b.    Analisis Bivariat

  Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan dependen. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kedua variabel maka dalam penelitian ini digunakan uji chi-square.


Untuk mengetahui nilai ekspektasi atau nilai yang diharapkan terjadi sesuai dengan hipotesis penelitian maka digunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
X2        : Chi-Square hitung
0          : Frekuensi data observasi
E         : Frekuensi harapan (Eko Budiarto, 2002: 216)

   Sedangkan untuk mengetahui besarnya derajat kebebasan (dk) maka digunakan rumus sebagai berikut:
dk = (B-1) (K-1)
Keterangan:
B         : Jumlah baris
K         : Jumlah kolom

   Setelah didapatkan harga X2hitung,  kemudian dibandingkan dengan X2tabel pada tingkat kepercayaan 95% atau derajat kesalahan 5% (0,05) maka jika X2hitung > X2tabel  berarti terdapat hubungan antara kedua variabel dan jika  X2hitung < X2tabel  maka tidak terdapat hubungan antara kedua variabel.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar